Pengguna internet di Indonesia tumbuh
sangat pesat. Data yang dirilis oleh Asosiasi Penyedia Jasa Internet
Indonesia, memaparkan jika saat ini (2014) terdapat 88,1 juta
pengguna internet di Indonesia. Hm..jumlah ini setara dengan 15 kali penduduk
Singapura dan hampir 1/3 dari total penduduk Indonesia. Pertumbuhan ini
didukung dari penggunaan gadget yang meroket.
Sebagai konsekuensi dari peningkatan akses
internet, adakah di antara kita yang tidak mengenal facebook, twitter,
linkedIn, path, Instagram (kecuali kita berasal dari Mars)? Mayoritas anak muda
banyak menghabiskan waktu untuk mengakses internet, sehingga tidak aneh jika
kemudian mereka membentuk kehidupan sosial melalui medsos. Bukan tidak mungkin medsos
lebih memahami mereka dibandingkan orang tua. Medsos merupakan kaca dari
kepribadian seseorang. Postingan menjadi representasi kepribadian seseorang. Keluhan,
kegalauan, keberhasilan, kegagalan, kesuksesan kerap nangkring di medsos.
Kecanggihan smartphone turut menggerek popularitas medsos. Kombinasi budaya
komunal berkontribusi meningkatkan peringkat kita sebagai negara pengakses media
sosial yang cukup aktif. Dampak yang menonjol dari penggunaan medsos yang
berlebihan ialah meninggalkan jejak personality jangka panjang. Reputasi
digital seseorang menunjukkan profil di dunia nyata.
Baru-baru ini, perusahaan terinspirasi untuk
memulai banyak proses rekruitmen yang mengandalkan medsos. Cara ini memang belum
dapat diandalkan seratus persen, tetapi menjadi cara jitu untuk melangkapi
proses rekruitmen yang telah ada saat ini. Banyak CEO mengeluhkan
ketidakefisienan proses interview, kandidat karyawan yang terinterview dan
lolos menjadi karyawan umumnya tidak memberikan impresi yang sama setelah
menjadi karyawan. Perusahaan kemudian beralih dengan mengkombinasikan dengan
medsos untuk merekrut karyawan.
Beberapa alasan yang digunakan perusahaan untuk
merekrut pegawainya bermacam-macam. Seperti yang diungkapkan oleh Thomas
Commoror dari Harvad Business Review, dia merinci setidaknya ada tiga alasan
utama mengapa digital tracing mulai diterapkan. Alasan pertama adalah
melibatkan media sosial memudahkan proses rekruitmen. Baik pemberi kerja dan
pencari kerja memperoleh keuntungan dari medsos. Employer dapat melacak
dengan mudah siapa saja orang yang berada di lingkaran kita, bagaimana background
dari teman kita di medsos, bagaimana pola komunikasi kita di medsos, apakah
interest utama kandidat. Semua dapat terlacak melalui medsos. Di
Amerika, satu dari enam pekerja memperoleh manfaat dari medsos mereka.
Manfaat lain dari medsos adalah membuat proses
rekruitmen menjadi tidak bias. Ketika tidak semua orang diberkahi dengan sifat
ekstrovert, mereka kesulitan untuk menjual “kemampuan terbaiknya” selama proses
interview. CV panjang dan berbunga-bunga, menjadi tidak bermakna
manakala proses interview tersendat. Medsos membantu para introvert agar
employer melihat potensi terbaik dari dirinya. Perusahaan kerap menggunakan
medsos untuk melihat tanlenta kandidat melalui postingan atau history di
medsos mereka. Introvert memang tidak memposting sebanyak ekstrovert,
tetapi pola postingan dan konten postingan, serta siapa saja yang berada
dilingkaran kandidat membantu employer untuk menambah kredit dari
kandidat. Subyektivitas dalam proses rekruitmen tidak dapat dihindarkan, tetapi
dapat dikurangi melalui tracing medsos. Upaya ini membantu mengurangi
bias yang selama ini sering muncul pada proses interview. Namun tetap
diingat, proses chemistry selama interview tetap menjadi poin
penting pada rekuritmen. Perilaku orang di masa lalu menjadi preditor mereka
untuk berperilaku di masa depan.
Keunggulan ketiga yang
diperoleh dari rekruitmen digital melalui medsos adalah membuat pekerjaan
menjadi lebih efisien. Melimpahnya data membuat proses identifikasi kandidat
semakin mudah. Pola yang dihasilkan dari data yang melimpah menjadi reliable untuk
digunakan untuk memprediksi masa depan. Jika kandidat mengunjungi Lazada utnuk
membeli baju online dan iklan mengenai baju Lazada muncul juga di akun
facebook, nya? Analisa sederhana dapat membantu manajer mengenai perilaku
membeli kandidat. Pertanyaannya adalah, bagaimana rekruiter mengumpulkan
kepingan-kepingan informasi dalam sebuah kerangka utuh untuk merekrut
pegawainya.
Jika kita pikir hal tersebut menakutkan, ada
baiknya kita mulai memikirkan alternatif: apakah kita akan kehilangan
kesempatan mendapatkan job yang menggiurkan, apakah kita akan
menghabiskan waktu untuk mengupgrade CV untuk aplikasi kerja, atau kita
medeterminasi diri untuk hidup offline selamanya?Ada baiknya jika belum
terlambat untuk memperbaiki reputasi digital kita saat ini. Membuat profil yang
meyakinkan, mengurangi perilaku negatif di internet (menjadi haters, membully
dengan twitter), belajar membuat medsos menjadi lebih positif. Tindakan ini
tentunya membutuhkan banyak waktu dan konsep yang jelas (kita ingin membangun
reputasi yang bagaimana melalui medsos).
Seseorang yang benar-benar tidak menyukai medsos
ada baiknya mulai melirik beberapa medsos yang sesuai dengan kebutuhannya. Orang
serius ada baiknya mencoba untuk join di linkedIn, situs tersebut sesuai
untuk introvert yang enggan melakukan sekedar basa-basi di medsos, siapa yang
ada dilingkaran kita juga perlu kita perhatikan, jika ingin terlihat
profesional ada baiknya untuk selektif dalam menambah daftar lingkaran. Cara
kita mengambil dan menempatkan foto juga menjadi indikator penting untuk
mengirimkan sinyal profesionalisme. Media sosial lain yang banyak dimiliki
adalah facebook. Jangan biarkan facebook kita termakan debu. Berikan sedikit
sentuhan profesional jika memang malas untuk memposting. Tampilan dan kontain
facebook juga patut diperhatikan.
Jika kita membayangkan digital tracing belum
diaplikasikan di Indonesia maka kita salah besar. Beberapa perusahaan BUMN
telah menetapkan digital tracing dalam proses rekruitmen mereka
menggunakan pihak ketiga. Cepat atau lambat, employer akan
mengaplikasikan cara ini dalam proses
rekruitmen. Tentu saja cara yang dipakai akan lebih canggih dari pada saat ini.
Well,you decide.
Comments
Post a Comment